Ahlan wa Sahlan...
Welcome...
Selamat datang di kampoeng hening....

*kampoeng yang sebenarnya tak hening:-)

Rabu, 12 Desember 2012

“Tak Perlu Keliling Dunia”



Senja kali ini kurasakan sangat berbeda dengan senja-senja sebelumnya yang pernah aku lalui. Senja ini sangat menyenangkan, karena sebentar lagi cita-cita terbesarku akan segera terkabul. Benar kata Ibu, jika kita berdo’a dan berusaha, apapun pasti akan tercapai.
Aku adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang miskin. Ibuku hanyalah seorang buruh cuci. Sedangkan ayahku adalah seorang Satpam di sebuah komplek perumahan mewah di kotaku. Namun ayahku sudah lama meninggalkan kami, saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar, ayah mengalami kecelakaan yang menyebabkannya meninggal dunia. Jadilah aku hanya tinggal berdua dengan ibu. Begitupun, orang tua ku selalu mengajarkan hal-hal yang luhur tentang kehidupan.
Walaupun kehidupan kami pas-pasan, tapi orang tua ku adalah orang tua yang memkirkan masa depan anaknya. Maka aku pun disekolahkan dari Sekolah Dasar sampai sekarang aku sudah duduk di bangku SMA. Walaupun ibu harus berjuang sendirian untuk membiayaiku yang kadang tersendat-sendat tapi akhirnya sampai di masa SMA. Masa yang kata orang masa-masa paling bahagia dari semua masa sekolah. Tapi masa ini juga adalah masa remaja yang penuh gejolak, masa labil, masa peralihan atau apapun namanya. Dan di masa inilah, tepatnya senja ini, senja yang kurasakan sangat istimewa dari senja biasanya.

Dari kecil aku punya cita-cita untuk keliling dunia, bukan keliling Indonesia tapi keliling dunia. Dan aku rasa setiap orang pasti pernah bercita-cita yang sama. Cita-cita itu pasti menghampiri bukan hanya orang kaya saja, tapi juga orang tak punya seperti aku ini. Aku pernah mengatakan pada ibu bahwa aku ingin keliling dunia, tapi ibu hanya tersenyum menanggapinya. Dan itu adalah reaksi yang sangat wajar mengingat kondisi keluarga kami.
Aku ingin keliling dunia, hanya itu, itu, dan hanya itu cita-cita tertinggiku. Bukan seperti anak lain yang bercita-cita jadi dokter, pilot, guru, atau apapun. Tidak,,,aku tak punya cita-cita itu. Aku hanya ingin keliling dunia, titik. Tak ingin yang lain. Sejak aku mengenal kata “cita-cita” hanya itulah yang memang kucita-citakan.
Pernah saat aku masih duduk di kelas 4 SD, sepulang sekolah aku menghampiri ibu di dapur, dan mulai mengatakan tentang cita-citaku itu.
“Ibu, aku ingin keliling dunia”, kataku
“Mau kemana?” kata ibu sambil tersenyum.
“Pokoknya berkeliling dunia, di lima benua. Pergi ke luar negeri, naik pesawat dan melihat keindahan dan keajaiban dunia Bu, kataku lagi”
“Uang darimana nak? Cita-citamu itu baik dan harus terus dipelihara. Teruslah berdo’a dan berusaha semoga suatu saat akan tercapai. Dan jangan lupa juga do’akan ayahmu di alam sana”. Itu yang dikatakan Ibu.
“Nanti jika kamu sudah berhasil keliling dunia apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu nanti tidak kangen sama Ibu? Katanya lagi masih dengan senyum khasnya.
“Aku kan akan pulang lagi Bu”, jawabku.
Aku tidak berhenti berdo’a dan berusaha seperti kata Ibu. Aku menabung uang jajanku selama bertahun-tahun hingga saat ini. Saat aku sudah duduk di bangku SMA. Aku percaya Allah akan mengabulkan keinginan hambanya yang bersungguh-sungguh. Setidaknya itulah yang diajarkan ibu kepadaku.
Maka sejak SD sampai sekarang aku sangat suka menyendiri di perpustakaan. Membaca buku-buku ensiklopedia tentang tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang di seluruh dunia.
Namun, sekarang menjelang saat-saat kelulusanku dari SMA aku mulai putus asa untuk mewujudkan cita-citaku itu. Uang tabungan yang selama ini kusimpan sepertinya belum mencukupi untuk modal keliling dunia. Karena uang itu terkadang kugunakan juga untuk keperluan mendadak. Hanya keajaiban saja yang bisa mewujudkan cita-citaku itu.
Melanjutkan sekolah saja mungkin aku tak akan bisa apalagi hendak keliling dunia. Aku mulai merutuki kehidupan yang sulit ini. Mulai bosan dengan semua do’a-do’a dan usaha yang kulakukan. Sepertinya Allah tak saying padaku, pada ibuku yang setiap malam memanjatkan do’a kepadanya. Allah tak mengabulkan permintaanku.
Dan hari ini, pagi setelah aku selesai shalat shubuh berjamaah dengan ibu, aku pun mengatakan kepadanya tentang kekecewaanku. Tentang cita-citaku yang tak mungkin terwujud. Ibu mendengarkan keluh kesahku sembari tersenyum simpul.
“Tidak salah bercita-cita tinggi, tapi kita harus ingat bagaimana kondisi kita. Apa yang kau cari dengan berkeliling dunia? Apa yang sebenarnya menjadi tujuan utamamu untuk keliling dunia?”
Sejenak aku diam dan tak mampu untuk menjawab pertanyaan ibu.
“Entahlah pokoknya aku hanya ingin jalan-jalan ke luar negeri”, kataku.
“Berapa lama kira-kira waktu yang kau butuhkan untuk perjalananmu itu?”
“Mengapa ibu bertanya seperti itu?”
“Ibu hanya bertanya, agar ibu juga mempersiapkan diri jika suatu saat impian mu tercapai dan kita akan berpisah untuk beberapa waktu yang mungkin cukup lama.” Katanya lagi sambil tersenyum, tapi kali ini matanya mulai berkaca-kaca.
Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Bagaimanapun juga ibu adalah orang yang paling aku sayangi di dunia ini. Karena dia yang sudah membersamai hari-hariku selama ini.
“Ibu ikut saja bersamaku”, kataku sambil tertawa.
“Sepertinya cita-citaku itu tak akan pernah tercapai bu, tak mungkin. Entah mengapa kita diberi kehidupan seperti ini. Kehidupan yang menyedihkan. Kehidupan yang dibawah rata-rata. Padahal kita selalu melaksanakan perintahNYa”.
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu nak, tetaplah bersyukur dalam keadaan apapun. Toh selama ini kehidupan kita cukup. Dan kita tak pernah mengemis kepada orang lain.”
Tak ada gunanya aku berdebat dengan ibu. Setelah mencium tangannya aku pun bersiap-siap untuk mandi dan berangkat ke sekolah.
Dan senja ini, senja yang kurasakan sangat berbeda dengan senja-senja sebelumnya. Senja ini, ketika aku pulang ke rumah setelah sekolah usai, aku sangat bersemangat dan hatiku sangat bahagia sekali. Tak kuhiraukan tatapan heran di mata ibu melihat aku pulang dengan senyum sumringah padahal tadi pagi aku sempat merutuki kehidupan kami.
Setelah mandi dan berpakaian rapi aku bukannya bersiap-siap ke masjid tapi malah duduk di tepi tempat tidurku dan mulai tersenyum-senyum sendiri sambil memegang sebuah buku. Buku ini yang sudah membuat senjaku hari ini berbeda.
Pasalnya adalah secara tak sengaja tadi aku menemukan sebuah buku yang sangat menarik di perpustakaan tempat biasa aku menghabiskan waktu. Entah darimana datangnya buku itu aku pun tak begitu perduli. Buku itu tebalnya kira-kira 100 halaman. Buku itu polos awalnya, tapi ketika aku mulai melihat sampul depannya, tiba-tiba muncul tulisan, “Wujudkan Cita-cita Keliling Dunia”.
Hei, dengan sangat terkejut aku mulai khawatir awalnya. Buku apa ini seolah dia tahu keinginanku yang sudah lama ku pendam. Kemudian aku membalik halaman selanjutnya, lalu muncul lagi tulisan,,,
“Hai Ahmad, sudah siap untuk petualangan keliling dunia?”,,,belum habis rasa terkejutku, datang lagi hal yang mengejutkan aku. Ini namanya Pucuk dicita, ulam pun tiba. Dan aku menjawab dalam hati,,,”ya, aku sudah sangat siap untuk ini”. Karena keliling dunia adalah cita-cita pertamaku yang sudah terpatri dari kecil sejak aku mengenal yang namanya kata “Cita-cita”. Tapi ternyata buku itu tak memunculkan tulisan lagi, dan akhirnya aku mengambil pena di tas sekolahku. Aku pun mulai menuliskan kata: “ Ya, aku sudah sangat siap”.
Kemudian muncul lagi tulisan, “ Kemana kau ingin pergi pertama kali?”
Aku berfikir lama, hampir 15 menit tapi aku belum juga bisa memutuskan ke Negara mana aku hendak pergi untuk pertama kalinya. Negeri mana yang akan menjadi tempat kunjungan perdanaku.
“Ahmad, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?” buku itu menulis lagi seolah-olah kami sedang berdialog. Dan akhirnya karena hari telah senja, petugas perpustakaan pun mengingatkan aku untuk segera pulang. Maka segera aku simpan buku itu karena tidak ada tanda-tanda bahwa buku itu adalah buku perpustakaan maka aku langsung memasukkannya ke dalam tas sekolahku. Dan pulang ke rumah dengan semangat.
            Disinilah aku sekarang, di tepi ranjang memegang pena dan buku ajaib itu serta masih berfikir kemana aku harus pergi untuk pertama kalinya. Aku masih berfikir keras, kemana aku akan pergi,,,mencoba mengingat-ingat Negara mana yang paling ingin kukunjungi. Tapi semakin aku berfikir semakin aku bingung untuk menentukan kemana aku akan pergi untuk pertama kalinya. Apakah ke Amerika, India, Paris, aduh,,,,kemana ya? Hatiku pun masih berdialog sendiri.
            Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba berdialog dengan Si Buku Ajaib…
“Aku bingung kemana akan pergi untuk pertama kalinya.”
“Kenapa kau bingung Ahmad, bukankah ini cita-citamu yang sudah dari dulu kau impi-impikan? Inilah saatnya, kesempatan tak datang dua kali.” Jawabnya.
“Tapi aku sungguh benar-benar belum memutuskan kemanakah aku akan pergi, darimana aku harus memulai perjalanan keliling dunia ini?”, kataku.
“Duhai, kau tinggal menuliskan nama sebuah tempat, lalu kita pergi, nanti tuliskan lagi, lalu kita pergi, dan begitu selanjutnya. Gampang bukan? “
Buku ini seolah-olah menertawakan kebingunganku. Salahku memang yang punya cita-cita tinggi tapi tak tahu bagaimana memulainya. Hm,,,kemudian aku mulai berfikir lagi. Dan akhirnya aku memutuskan aku akan mengunjungi Negara-negara yang punya keajaiban dunia untuk pertama kalinya. Dan akhirnya aku menuliskan “Aku ingin melihat Menara Eiffel di Paris”.
Sepersekian detik setelah aku menuliskan kata-kata itu, aku pun sudah berada tepat di depan Menara fenomenal itu. SubhanaLLAH, tak hentinya aku berdecak kagum memuji keajaiban yang kini berada di depan mataku. Senyumku semakin melebar menikmati pemandangan yang sangat indah ini.
Tapi segera saja aku mulai bingung, aku tak bisa berbahasa Prancis, dan bahasa Inggrisku juga sungguh sangat minim. Timbul penyesalan kenapa dulu tak belajar bahasa inggris dengan sungguh-sungguh di sekolah. Sial,,,bagaimana aku harus bertanya kemana arah jalan atau tempat-tempat lain jika aku tak mampu berkomunikasi dengan mereka.
Aku mengeluarkan lagi si Buku Ajaib dari kantongku dan kembali berdialog dengannya setelah sebelumnya aku mencari tempat untuk dapat duduk dan mulai menulis.
“Bisakah kau mengajariku berbahasa asing? Kau pasti bisa bukan?”
 “Tugasku hanya mewujudkan cita-cita keliling dunia, menghantarkanmu ke tempat yang kau inginkan, bukan untuk memberimu pelajaran tentang bahasa asing”
Lagi-lagi dia seolah-olah menertawakan kebodohanku.
“Ingat Ahmad, aku sudah terisi sebanyak 4 halaman, satu halaman hanya bisa di isi oleh satu tempat. Ingat, satu tempat bukan negara. Sedangkan untuk dialog-dialog kita pasti juga memakan halaman yang banyak. Dan ketika aku sudah penuh maka aku dengan sendirinya akan hilang.”
“iya,,,iya,,,aku tahu itu”, kataku dengan sedikit kesal.
Dan akhirnya aku menuliskan nama-nama tempat yang ingin kukunjungi. Menara Pisa di Italia, naik Gondola di Venesia, Colloseum Roma, ke Hawai, patung Liberty, Amerika, Texas, Air terjun Niagara, Tembok Besar Cina, Jepang, Gunung Fujiyama, Korea, Afrika, Turki, Dubai, Disneyland, Jerman, Sydney, ke Pyramida, Sungai Nil, Patung Sphinx di Mesir, Taj Mahal di India, tak terhingga rasaku sudah kukunjungi tempat-tempat di dunia. Tapi sepertinya aku belum cukup puas, karena waktunya sangat sebentar. Dan tiada terasa buku itu sudah hampir penuh. Tinggal 2 lembar lagi tersisa. Dan sekarang aku berada di tepi sungai nil menikmati pemandangan yang menakjubkan. Aku pun mengeluarkan si Buku Ajaib.
“Apa kau menikmati perjalanan ini Ahmad?”, kata si Buku Ajaib.
“Aku tentu saja sangat menikmatinya walaupun sepertinya hanya singkat saja aku berada disana, tapi aku benar-benar menikmatinya. Ini seperti Dreams Come True”, kataku sambil tertawa.
“Bersyukurlah, jangan seperti manusia yang lupa bersyukur saat nikmat telah datang padanya”, Katanya lagi.
Astaghfirullah, dalam hati aku tersadar bahwa dari tadi aku tak ingat untuk bersyukur sedikitpun. Tak sadar, buku itu hanya tersisa selembar lagi. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menuju Makkah dan Madinah. Melihat Ka’bah, tempat suci bagi ummat Islam. Segera setelah aku menuliskan tujuan terakhirku, si Buku Ajaib lenyap dengan sendirinya.
            Saat ini aku sudah berada di Masjidil Haram, aku shalat dua rakaat. Tapi mengapa seperti tidak ada orang disini? Sunyi sekali, padahal harusnya tempat ini selalu ramai. Setelah selesai shalat, aku mengingat apa yang terjadi padaku beberapa jam ini. Aku pun tak terlalu yakin berapa lama perjalananku. Apakah hanya hitungan jam, atau bahkan hari, minggu, bulan, atau tahun. Tapi yang pasti aku masih memakai baju yang sama saat aku pertama kali menulis buku itu.
            Selesai berdo’a, aku baru ingat bagaimana aku akan pulang. Apakah aku terjebak disini?. Negeri yang sama sekali tak ku kenali. Allah,,,bagaimana ini?. Aku mulai teringat ibu, aku rindu ibu. Padahal aku ingin menceritakan pengalamanku pada ibu. Dan tadinya, aku ingin mengajaknya juga ketempat ini. Tapi sungguh aku terlalu egois untuk sekedar mengingat orang lain. Bersyukur pun aku tak ingat.
            Ketakutan mulai menghampiriku, bagaimana aku akan tinggal di negeri ini?. Bagaimana keadaan ibu?. Beliau pasti khawatir memikirkan aku yang tak kembali. Ibu,,,sungguh saat ini aku betul-betul merindukan ibu. Belum banyak yang aku lakukan untuk ibu. Padahal ibu sudah sangat berkorban untukku.
            Ternyata keliling dunia itu tak begitu indah dibanding kehidupan yang aku jalani bersama ibu. Walaupun tak pernah kemana-mana tapi aku lebih bahagia jika bersama ibu. Akupun mulai menangis, dan tak berapa lama ku lihat seorang perempuan berjalan mendekatiku. Sosok itu bukan sosok yang asing bagiku. Aku segera berlari menyongsongnya.
Dia, Ibuku, aku langsung memeluknya dan meminta maaf padanya. Aku benar-benar menyesal. Aku tak ingin lagi pergi keliling dunia. Aku hanya ingin bersama ibu, dimanapun. Aku bilang pada ibu kalau aku menyayanginya, sangat menyayanginya melebihi diriku. Tak perlu aku keliling dunia, yang kuinginkan hanya bersama ibu.
Tiba-tiba aku merasa pipiku di elus ibu.
“Ahmad, bangun,,,ayo segera ke masjid. Sebentar lagi waktu maghrib”.
Akupun terbangun, ternyata tadi hanya mimpi. Syukurlah. Akupun kembali memeluk dan mencuim tangan ibu dengan hangat sambil mengatakan “Aku sayang Ibu”. Tak kuhiraukan lagi tatapan heran ibu, dan langsung aku bersiap-siap ke masjid.
Lamat-lamat teringat olehku sambil masih tersenyum syair lagu yang dinyanyikan Gita Gutawa, “Tak perlulah aku keliling dunia, karena ku tak mampu jauh darimu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar