Senja kali ini kurasakan sangat berbeda dengan
senja-senja sebelumnya yang pernah aku lalui. Senja ini sangat menyenangkan,
karena sebentar lagi cita-cita terbesarku akan segera terkabul. Benar kata Ibu,
jika kita berdo’a dan berusaha, apapun pasti akan tercapai.
Aku adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang
miskin. Ibuku hanyalah seorang buruh cuci. Sedangkan ayahku adalah seorang
Satpam di sebuah komplek perumahan mewah di kotaku. Namun ayahku sudah lama
meninggalkan kami, saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar, ayah mengalami
kecelakaan yang menyebabkannya meninggal dunia. Jadilah aku hanya tinggal
berdua dengan ibu. Begitupun, orang tua ku selalu mengajarkan hal-hal yang
luhur tentang kehidupan.
Walaupun kehidupan kami pas-pasan, tapi orang tua ku
adalah orang tua yang memkirkan masa depan anaknya. Maka aku pun disekolahkan
dari Sekolah Dasar sampai sekarang aku sudah duduk di bangku SMA. Walaupun ibu
harus berjuang sendirian untuk membiayaiku yang kadang tersendat-sendat tapi
akhirnya sampai di masa SMA. Masa yang kata orang masa-masa paling bahagia dari
semua masa sekolah. Tapi masa ini juga adalah masa remaja yang penuh gejolak,
masa labil, masa peralihan atau apapun namanya. Dan di masa inilah, tepatnya
senja ini, senja yang kurasakan sangat istimewa dari senja biasanya.
Dari kecil aku punya cita-cita untuk keliling dunia,
bukan keliling Indonesia tapi keliling dunia. Dan aku rasa setiap orang pasti
pernah bercita-cita yang sama. Cita-cita itu pasti menghampiri bukan hanya
orang kaya saja, tapi juga orang tak punya seperti aku ini. Aku pernah
mengatakan pada ibu bahwa aku ingin keliling dunia, tapi ibu hanya tersenyum
menanggapinya. Dan itu adalah reaksi yang sangat wajar mengingat kondisi
keluarga kami.
Aku ingin keliling dunia, hanya itu, itu, dan hanya
itu cita-cita tertinggiku. Bukan seperti anak lain yang bercita-cita jadi dokter,
pilot, guru, atau apapun. Tidak,,,aku tak punya cita-cita itu. Aku hanya ingin keliling
dunia, titik. Tak ingin yang lain. Sejak aku mengenal kata “cita-cita” hanya
itulah yang memang kucita-citakan.
Pernah saat aku masih duduk di kelas 4 SD, sepulang
sekolah aku menghampiri ibu di dapur, dan mulai mengatakan tentang cita-citaku
itu.
“Ibu, aku ingin keliling dunia”, kataku
“Mau kemana?” kata ibu sambil tersenyum.
“Pokoknya berkeliling dunia, di lima benua. Pergi ke luar negeri, naik
pesawat dan melihat keindahan dan keajaiban dunia Bu, kataku lagi”
“Uang darimana nak? Cita-citamu itu baik dan harus terus dipelihara.
Teruslah berdo’a dan berusaha semoga suatu saat akan tercapai. Dan jangan lupa
juga do’akan ayahmu di alam sana”. Itu yang dikatakan Ibu.
“Nanti jika kamu sudah berhasil keliling dunia apa yang akan kamu
lakukan? Apakah kamu nanti tidak kangen sama Ibu? Katanya lagi masih dengan
senyum khasnya.
“Aku kan akan pulang lagi Bu”, jawabku.
Aku tidak berhenti berdo’a dan berusaha seperti kata
Ibu. Aku menabung uang jajanku selama bertahun-tahun hingga saat ini. Saat aku
sudah duduk di bangku SMA. Aku percaya Allah akan mengabulkan keinginan
hambanya yang bersungguh-sungguh. Setidaknya itulah yang diajarkan ibu
kepadaku.
Maka sejak SD sampai sekarang aku sangat suka
menyendiri di perpustakaan. Membaca buku-buku ensiklopedia tentang
tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang di seluruh dunia.
Namun, sekarang menjelang saat-saat kelulusanku dari
SMA aku mulai putus asa untuk mewujudkan cita-citaku itu. Uang tabungan yang
selama ini kusimpan sepertinya belum mencukupi untuk modal keliling dunia.
Karena uang itu terkadang kugunakan juga untuk keperluan mendadak. Hanya
keajaiban saja yang bisa mewujudkan cita-citaku itu.
Melanjutkan sekolah saja mungkin aku tak akan bisa
apalagi hendak keliling dunia. Aku mulai merutuki kehidupan yang sulit ini.
Mulai bosan dengan semua do’a-do’a dan usaha yang kulakukan. Sepertinya Allah
tak saying padaku, pada ibuku yang setiap malam memanjatkan do’a kepadanya.
Allah tak mengabulkan permintaanku.
Dan hari ini, pagi setelah aku selesai shalat shubuh
berjamaah dengan ibu, aku pun mengatakan kepadanya tentang kekecewaanku.
Tentang cita-citaku yang tak mungkin terwujud. Ibu mendengarkan keluh kesahku
sembari tersenyum simpul.
“Tidak salah bercita-cita tinggi, tapi kita harus ingat bagaimana
kondisi kita. Apa yang kau cari dengan berkeliling dunia? Apa yang sebenarnya
menjadi tujuan utamamu untuk keliling dunia?”
Sejenak aku diam dan tak mampu untuk menjawab pertanyaan ibu.
“Entahlah pokoknya aku hanya ingin jalan-jalan ke luar negeri”, kataku.
“Berapa lama kira-kira waktu yang kau butuhkan untuk perjalananmu itu?”
“Mengapa ibu bertanya seperti itu?”
“Ibu hanya bertanya, agar ibu juga mempersiapkan diri jika suatu saat
impian mu tercapai dan kita akan berpisah untuk beberapa waktu yang mungkin
cukup lama.” Katanya lagi sambil tersenyum, tapi kali ini matanya mulai
berkaca-kaca.
Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Bagaimanapun juga ibu adalah orang yang
paling aku sayangi di dunia ini. Karena dia yang sudah membersamai hari-hariku
selama ini.
“Ibu ikut saja bersamaku”, kataku sambil tertawa.
“Sepertinya cita-citaku itu tak akan pernah tercapai bu, tak mungkin.
Entah mengapa kita diberi kehidupan seperti ini. Kehidupan yang menyedihkan.
Kehidupan yang dibawah rata-rata. Padahal kita selalu melaksanakan perintahNYa”.
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu nak, tetaplah bersyukur dalam
keadaan apapun. Toh selama ini kehidupan kita cukup. Dan kita tak pernah
mengemis kepada orang lain.”
Tak ada gunanya aku berdebat dengan ibu. Setelah
mencium tangannya aku pun bersiap-siap untuk mandi dan berangkat ke sekolah.
Dan senja ini, senja yang kurasakan sangat berbeda
dengan senja-senja sebelumnya. Senja ini, ketika aku pulang ke rumah setelah sekolah
usai, aku sangat bersemangat dan hatiku sangat bahagia sekali. Tak kuhiraukan
tatapan heran di mata ibu melihat aku pulang dengan senyum sumringah padahal
tadi pagi aku sempat merutuki kehidupan kami.
Setelah mandi dan berpakaian rapi aku bukannya
bersiap-siap ke masjid tapi malah duduk di tepi tempat tidurku dan mulai
tersenyum-senyum sendiri sambil memegang sebuah buku. Buku ini yang sudah
membuat senjaku hari ini berbeda.
Pasalnya adalah secara tak sengaja tadi aku menemukan
sebuah buku yang sangat menarik di perpustakaan tempat biasa aku menghabiskan
waktu. Entah darimana datangnya buku itu aku pun tak begitu perduli. Buku itu tebalnya
kira-kira 100 halaman. Buku itu polos awalnya, tapi ketika aku mulai melihat
sampul depannya, tiba-tiba muncul tulisan, “Wujudkan Cita-cita Keliling Dunia”.
Hei, dengan sangat terkejut aku mulai khawatir
awalnya. Buku apa ini seolah dia tahu keinginanku yang sudah lama ku pendam.
Kemudian aku membalik halaman selanjutnya, lalu muncul lagi tulisan,,,
“Hai Ahmad, sudah siap untuk petualangan keliling dunia?”,,,belum habis
rasa terkejutku, datang lagi hal yang mengejutkan aku. Ini namanya Pucuk
dicita, ulam pun tiba. Dan aku menjawab dalam hati,,,”ya, aku sudah sangat siap
untuk ini”. Karena keliling dunia adalah cita-cita pertamaku yang sudah
terpatri dari kecil sejak aku mengenal yang namanya kata “Cita-cita”. Tapi
ternyata buku itu tak memunculkan tulisan lagi, dan akhirnya aku mengambil pena
di tas sekolahku. Aku pun mulai menuliskan kata: “ Ya, aku sudah sangat siap”.
Kemudian muncul lagi tulisan, “ Kemana kau ingin pergi pertama kali?”
Aku berfikir lama, hampir 15 menit tapi aku belum juga bisa memutuskan
ke Negara mana aku hendak pergi untuk pertama kalinya. Negeri mana yang akan
menjadi tempat kunjungan perdanaku.
“Ahmad, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?” buku itu menulis lagi
seolah-olah kami sedang berdialog. Dan akhirnya karena hari telah senja,
petugas perpustakaan pun mengingatkan aku untuk segera pulang. Maka segera aku
simpan buku itu karena tidak ada tanda-tanda bahwa buku itu adalah buku
perpustakaan maka aku langsung memasukkannya ke dalam tas sekolahku. Dan pulang
ke rumah dengan semangat.
Disinilah aku sekarang,
di tepi ranjang memegang pena dan buku ajaib itu serta masih berfikir kemana
aku harus pergi untuk pertama kalinya. Aku masih berfikir keras, kemana aku
akan pergi,,,mencoba mengingat-ingat Negara mana yang paling ingin kukunjungi.
Tapi semakin aku berfikir semakin aku bingung untuk menentukan kemana aku akan
pergi untuk pertama kalinya. Apakah ke Amerika, India, Paris, aduh,,,,kemana
ya? Hatiku pun masih berdialog sendiri.
Akhirnya aku memutuskan
untuk mencoba berdialog dengan Si Buku Ajaib…
“Aku bingung kemana akan pergi untuk pertama kalinya.”
“Kenapa kau bingung Ahmad, bukankah ini cita-citamu yang sudah dari dulu
kau impi-impikan? Inilah saatnya, kesempatan tak datang dua kali.” Jawabnya.
“Tapi aku sungguh benar-benar belum memutuskan kemanakah aku akan pergi,
darimana aku harus memulai perjalanan keliling dunia ini?”, kataku.
“Duhai, kau tinggal menuliskan nama sebuah tempat, lalu kita pergi,
nanti tuliskan lagi, lalu kita pergi, dan begitu selanjutnya. Gampang bukan? “
Buku ini seolah-olah menertawakan kebingunganku. Salahku memang yang
punya cita-cita tinggi tapi tak tahu bagaimana memulainya. Hm,,,kemudian aku
mulai berfikir lagi. Dan akhirnya aku memutuskan aku akan mengunjungi
Negara-negara yang punya keajaiban dunia untuk pertama kalinya. Dan akhirnya
aku menuliskan “Aku ingin melihat Menara Eiffel di Paris”.
Sepersekian detik setelah aku menuliskan kata-kata
itu, aku pun sudah berada tepat di depan Menara fenomenal itu. SubhanaLLAH, tak
hentinya aku berdecak kagum memuji keajaiban yang kini berada di depan mataku.
Senyumku semakin melebar menikmati pemandangan yang sangat indah ini.
Tapi segera saja aku mulai bingung, aku tak bisa
berbahasa Prancis, dan bahasa Inggrisku juga sungguh sangat minim. Timbul
penyesalan kenapa dulu tak belajar bahasa inggris dengan sungguh-sungguh di
sekolah. Sial,,,bagaimana aku harus bertanya kemana arah jalan atau
tempat-tempat lain jika aku tak mampu berkomunikasi dengan mereka.
Aku mengeluarkan lagi si Buku Ajaib dari kantongku dan
kembali berdialog dengannya setelah sebelumnya aku mencari tempat untuk dapat
duduk dan mulai menulis.
“Bisakah kau mengajariku berbahasa asing? Kau pasti bisa bukan?”
“Tugasku hanya mewujudkan
cita-cita keliling dunia, menghantarkanmu ke tempat yang kau inginkan, bukan
untuk memberimu pelajaran tentang bahasa asing”
Lagi-lagi dia seolah-olah menertawakan kebodohanku.
“Ingat Ahmad, aku sudah terisi sebanyak 4 halaman, satu halaman hanya
bisa di isi oleh satu tempat. Ingat, satu tempat bukan negara. Sedangkan untuk
dialog-dialog kita pasti juga memakan halaman yang banyak. Dan ketika aku sudah
penuh maka aku dengan sendirinya akan hilang.”
“iya,,,iya,,,aku tahu itu”, kataku dengan sedikit kesal.
Dan akhirnya aku menuliskan nama-nama tempat yang ingin kukunjungi.
Menara Pisa di Italia, naik Gondola di Venesia, Colloseum Roma, ke Hawai,
patung Liberty, Amerika, Texas, Air terjun Niagara, Tembok Besar Cina, Jepang,
Gunung Fujiyama, Korea, Afrika, Turki, Dubai, Disneyland, Jerman, Sydney, ke
Pyramida, Sungai Nil, Patung Sphinx di Mesir, Taj Mahal di India, tak terhingga
rasaku sudah kukunjungi tempat-tempat di dunia. Tapi sepertinya aku belum cukup
puas, karena waktunya sangat sebentar. Dan tiada terasa buku itu sudah hampir
penuh. Tinggal 2 lembar lagi tersisa. Dan sekarang aku berada di tepi sungai
nil menikmati pemandangan yang menakjubkan. Aku pun mengeluarkan si Buku Ajaib.
“Apa kau menikmati perjalanan ini Ahmad?”, kata si Buku Ajaib.
“Aku tentu saja sangat menikmatinya walaupun sepertinya hanya singkat
saja aku berada disana, tapi aku benar-benar menikmatinya. Ini seperti Dreams
Come True”, kataku sambil tertawa.
“Bersyukurlah, jangan seperti manusia yang lupa bersyukur saat nikmat
telah datang padanya”, Katanya lagi.
Astaghfirullah, dalam hati aku tersadar bahwa dari tadi aku tak ingat
untuk bersyukur sedikitpun. Tak sadar, buku itu hanya tersisa selembar lagi.
Dan akhirnya aku memutuskan untuk menuju Makkah dan Madinah. Melihat Ka’bah,
tempat suci bagi ummat Islam. Segera setelah aku menuliskan tujuan terakhirku,
si Buku Ajaib lenyap dengan sendirinya.
Saat ini aku sudah
berada di Masjidil Haram, aku shalat dua rakaat. Tapi mengapa seperti tidak ada
orang disini? Sunyi sekali, padahal harusnya tempat ini selalu ramai. Setelah
selesai shalat, aku mengingat apa yang terjadi padaku beberapa jam ini. Aku pun
tak terlalu yakin berapa lama perjalananku. Apakah hanya hitungan jam, atau
bahkan hari, minggu, bulan, atau tahun. Tapi yang pasti aku masih memakai baju
yang sama saat aku pertama kali menulis buku itu.
Selesai berdo’a, aku
baru ingat bagaimana aku akan pulang. Apakah aku terjebak disini?. Negeri yang
sama sekali tak ku kenali. Allah,,,bagaimana ini?. Aku mulai teringat ibu, aku
rindu ibu. Padahal aku ingin menceritakan pengalamanku pada ibu. Dan tadinya,
aku ingin mengajaknya juga ketempat ini. Tapi sungguh aku terlalu egois untuk
sekedar mengingat orang lain. Bersyukur pun aku tak ingat.
Ketakutan mulai
menghampiriku, bagaimana aku akan tinggal di negeri ini?. Bagaimana keadaan
ibu?. Beliau pasti khawatir memikirkan aku yang tak kembali. Ibu,,,sungguh saat
ini aku betul-betul merindukan ibu. Belum banyak yang aku lakukan untuk ibu.
Padahal ibu sudah sangat berkorban untukku.
Ternyata keliling dunia
itu tak begitu indah dibanding kehidupan yang aku jalani bersama ibu. Walaupun
tak pernah kemana-mana tapi aku lebih bahagia jika bersama ibu. Akupun mulai
menangis, dan tak berapa lama ku lihat seorang perempuan berjalan mendekatiku.
Sosok itu bukan sosok yang asing bagiku. Aku segera berlari menyongsongnya.
Dia, Ibuku, aku langsung memeluknya dan meminta maaf
padanya. Aku benar-benar menyesal. Aku tak ingin lagi pergi keliling dunia. Aku
hanya ingin bersama ibu, dimanapun. Aku bilang pada ibu kalau aku
menyayanginya, sangat menyayanginya melebihi diriku. Tak perlu aku keliling
dunia, yang kuinginkan hanya bersama ibu.
Tiba-tiba aku merasa pipiku di elus ibu.
“Ahmad, bangun,,,ayo segera ke masjid. Sebentar lagi waktu maghrib”.
Akupun terbangun, ternyata tadi hanya mimpi. Syukurlah. Akupun kembali
memeluk dan mencuim tangan ibu dengan hangat sambil mengatakan “Aku sayang
Ibu”. Tak kuhiraukan lagi tatapan heran ibu, dan langsung aku bersiap-siap ke
masjid.
Lamat-lamat teringat olehku sambil masih tersenyum syair lagu yang
dinyanyikan Gita Gutawa, “Tak perlulah aku keliling dunia, karena ku tak mampu
jauh darimu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar