Ahlan wa Sahlan...
Welcome...
Selamat datang di kampoeng hening....

*kampoeng yang sebenarnya tak hening:-)

Rabu, 12 Desember 2012

Sumbangan Psikologi Humanistik (Pendidikan Humanistik) untuk Pendidikan Alternatif Belajar melalui “Totto-Chan”



Apa yang kau lihat,,,
Apa yang kau dengar,,,
Dan apa yang kau rasakan adalah pendidikan.

Adalah Totto-chan, seorang gadis cilik yang memulai masa-masa sekolah dasarnya. Oleh mamanya, ia dimasukkan ke sebuah sekolah dasar yang pada akhirnya mengeluarkan Totto-chan saat ia masih menjalani tahun pertamanya karena ibu gurunya menganggap Totto-chan adalah anak yang nakal. Suka membuka-tutup mejanya berkali-kali, berdiri di depan jendela kelas dan memanggil pemusik jalanan, dan menggambari meja adalah beberapa contoh kelakuannya yang membuat ibu gurunya kehilangan kesabaran.
Mama Totto-chan yang bijaksana mengajak Totto-chan pindah ke sekolah lain tanpa mengatakan bahwa ia dikeluarkan dari sekolahnya yang lama. Sekolah baru  tersebut bernama Tomoe Gakuen. Sekolah ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah ruang kelasnya yang tidak lain adalah gerbong-gerbong kereta api yang sudah tidak lagi terpakai. Di sekolah inilah Totto-chan mendapatkan pengalaman-pengalaman luar biasa dan bertemu dengan orang-orang yang tidak akan dilupakan seumur hidupnya.
Kepala sekolah, Sosaku Kobayashi, adalah seorang pendidik yang baik dan bijaksana. Ia menerapkan sistem pendidikan di sekolahnya, Tomoe Gakuen, berbeda dari sekolah-sekolah konvensional di Jepang lainnya. Hari pertama ke sekolah, ia dengan sabar mendengarkan cerita dan totto-chan tentang apa yang ia suka sekitar 4 jam lamanya. Ia memang telah belajar bertahun-tahun, salah satunya di Eropa, sebelum kemudian ia mendirikan Tomoe Gakuen. Ia mendidik murid-muridnya dengan "menyerahkan"nya pada alam dan membiarkan mereka tumbuh sesuai kepribadian dan talentanya masing-masing. Ia selalu berusaha memahami murid-muridnya dan membuat mereka senang. Inilah yang membuat Totto-chan dan teman-temannya begitu dekat dengan Mr. Kobayashi sampai-sampai menganggapnya sebagai teman.
Di sekolah ini Totto-chan berjumpa dengan teman-teman yang baik antara lain Yasuaki-chan yang terkena polio sejak kecil, Sakko-chan, Miyo-chan, si ahli fisika Tai-chan, Oe, Takahashi yang memiliki kelainan fisik, dan lain-lain. Walaupun beberapa di antara mereka memiliki kecacatan, mereka mampu saling menghargai.Totto-chan menjalani masa-masa sekolah bersama teman-temannya dengan perasaan senang. Setiap hari ia mendapatkan pengalaman-pengalaman yang berkesan.


Cerita ini, adalah sebuah kisah yang sangat menarik sekali. Proses belajar yang dialami totto-chan tidak melalui sekolah formal, namun dengan bersekolah di gerbong kereta ia bisa mempelajari apa saja yang ia sukai. Ia bisa memperoleh ilmu dari apa yang dia lihat, dia dengar, dia rasakan, dia lakukan, bahkan lewat permainan, dengan atau tanpa sadar totto-chan telah memperoleh pendidikan dasarnya dengan sangat baik.
Di Indonesia sendiri, Pemerintah telah merumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan bersama yaitu:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UU RI No 20/ 2003).
           Dan dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
           Jika dilihat dari undang-undang serta peraturan yang dibuat oleh pemerintah maka sekoalh Tomoe yang didirikan Pak Kobayashi di Jepang sangatlah mendekati tujuan dari pendidikan kita. Namun, kenyataan yang kita lihat bahwa di Indonesia masih sangat kurang sistem pendidikan yang membebaskan anak didiknya untuk berkreasi, belajar sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan, tidak semua pendidik mempunyai kemampuan untuk memotivasi, apalagi sampai menginspirasi.
           Sekolah tak jarang menjadi tempat yang menakutkan, menjadi momok bagi anak. Belajar bukanlah menjadi sesuatu yang menyenangkan, namun menjadi sesuatu yang sangat dihindari. Sekolah terkadang bukan menjadi tempat untuk kita mengasah potensi diri namun malah menghambat potensi diri.
                Contohnya saja, ketika anak mendapat pelajaran menggambar, maka hampir semua anak akan menggambar dua gunung, dengan matahari di tengah gunung, diatasnya awan dab beberapa ekor burung, lalu ada jalan setapak, rumah, dan hamparan sawah. Jika ada seorang anak saja yang menggambar berbeda, anak tersebut kemungkinan akan dianggap aneh. Padahal itu adalah kreativitas dan daya imajinasi anak yang seharusnya diapresiasi oleh seorang pendidik.
                Dan di masa sekarang ini, era globalisasi sudah banyak orang yang mulai menyadari akan pentingnya pendidikan yang menyenangkan walaupun itu bukan dilalui dalam pendidikan formal. Maka banyak orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap dunia pendidikan membuat sekolah-sekolah alternative yang menyenangkan, inovatif, dan melatih kreativitas.
                Apa yang dimaksud dengan belajar, atau pembelajaran atau learning?. Winkel (dalam Psikologi Pengajaran, 2004) mengatakan bahwa belajar adalah “suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaktif aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Dan perubahan itu bersifat secara relative konstan dan berbekas”. Pembelajaran (learning) dapat juga didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan, dan keterampilan berpikir, yang diperoleh melalui pengalaman.
                Banyak teori belajar yang semakin berkembang dan disesuaikan dengan perkembangan anak dan juga perubahan zaman. Ada beberapa pendekatan pembelajaran yang sudah kita ketahui, yaitu pendekatan kognitif dan behavioral. Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental.
                Sementara pendekatan kognitif dibagi menjadi empat pendekatan kognitif utama yaitu: kognitif sosial, pemrosesan informasi kognitif, konstruktivis kognitif, dan konstruktivis sosial. Dan kelima pendekatan ini, ditambah dengan pendekatan behavioral, akan membantu kita memahami bagaimana anak belajar.
                Salah satu aliran psikologi yang mempunyai peran dalam dunia pendidikan yaitu psikologi humanistik. Psikologi humanistik banyak memberikan sumbangsih terutama dalam pendidikan alternative. Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan potensi yang ada dalam diri manusia secara maksimal. Setiap aspeknya dari mulai aspek emosional, social, mental dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam pendidikan humanistik. Tokoh-tokoh dari psikologi humanistik, diantaranya Abraham Maslow, Carl R Rogers, Arthur Combs, Aldous Huxley, David Mills dan Stanley Scher.  
                Abraham H. Maslow (selanjutnya ditulis Maslow) adalah tokoh yang menonjol dalam psikologi humanistik. Karyanya di bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi pertumbuhan
                Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling asasi- sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan  memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh orang lain.
                Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri. Implikasi teori ini dalam bidang pendidikan sangat penting. Sebagai contoh, seorang guru haruslah memperhatikan mengapa anak-anak tertentu tidak memiliki motivasi belajar, tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau bahkan sulit untuk konsentrasi di dalam kelas. Mungkin saja kebutuhan si anak di beberapa hirarki mendasar belum terpenuhi, misalanya belum sarapan pagi, mempunyai masalah di rumah atau pribadi, tidak tidur nyenyak dan sebagainya. Harus mendengarkan dan mencari tahu penyebabnya sebelum menyalahkan si anak.
                                Inilah yang coba diterapkan oleh Kepala Sekolah Tomoe kepada murid-muridnya. Pak Kobayashi dengan sangat setia mendengarkan murid-muridnya bercerita, lalu dia juga mengajarkan kepada muridnya mengenai makanan yang bergizi. Ada rutinitas makan siang yang diberlakukan oleh Pak Kobayashi setiap harinya di aula. Dan setiap murid harus membawa makanan “yang berasal dari laut dan dari gunung”.
                Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan
                Di sekolah Tomoe, inilah yang diaplikasikan. Setiap anak memiliki hasrat belajar yang tinggi, karena sekolah menjadi begitu menyenangkan. Setiap anak boleh menanyakan hal apa saja kepada guru mereka. Saat kelas dimulai, anak-anak menentukan sendiri pelajaran apa yang ingin dia pelajari. Dan ketika mereka menemukan kebuntuan, mereka langsung menanyakannya kepada guru di kelas. Mereka belajar atas inisiatif mereka sendiri, belajar dengan perasaan senang tanpa ancaman, dan selalu ada makna dari apa yang mereka alami di sekolah tersebut terkadang tanpa mereka sadari. Mereka belajar bagaimana caranya belajar (learn how to learn) dan itu membuat mereka menjadi lebih percaya diri.
                Sedangkan menurut Combs perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya. Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).
                Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yaitu ketika murid mampu mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan kehidupannya maka guru itu dapat dikatakan berhasil. Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.
                Namun di sekolah Tomoe, dari menu makan siang saja mereka dapat belajar apa manfaat dari makanan yang menjadi bekal mereka untuk kesehatan mereka. Melalui jalan-jalan sepulang sekolah menyusuri sungai menuju kuil, mereka belajar mengenai sejarah, penyerbukan, dan banyak lagi.
                Aldous Huxley, tokoh psikologi humanistik berikutnya menekankan adanya pendidikan non-verbal yang juga harus diajarkan kepada siswa. Pendidikan non verbal bukan berwujud pelajaran senam, sepak bola, bernyanyi ataupun menari, melainkan hal-hal yang bersifat diluar materi pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan kesadaran seseorang. Proses pendidikan non verbal seyogyanya dimulai sejak usia dini sampai tingkat tinggi.
                Betapapun, agar seseorang bisa mengetahui makna hidup dalam kehidupan yang nyata, mereka harus membekali dirinya dengan suatu kebijakan hidup, kreativitas dan mewujudkannya dengan langkah-langkah yang bijaksana. Dengan cara ini seseorang akan mendapatkan kehidupan yang nikmat dan penuh arti. Dengan  pendidikan non verbal, seseorang akan memiliki kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman hidupnya dengan lebih menarik.
                Di Tomoe sendiri, Pak Kobayashi mampu mengkolaborasikan hal tersebut. Setiap tanggal 2 November selalu diadakan perlombaan olahraga pada sebuah festival yang diselenggarakan sekolah. Pada waktu itu dibuatlah berbagai lomba ketangkasan. Uniknya, pemenang pertama dari semua lomba itu selalu sama, yaitu seorang anak yang bertubuh paling kecil dan pendek. Ia mampu memenangkan perlombaan justru karena tubuhnya yang khusus. Ternyata Pak Kobayashi sengaja membuat permainan-permainan yang memungkinan anak itu untuk menang, dengan harapan perasaan minder yang menghantuinya bisa memudar. Beliau bahkan pernah menegur dengan keras seorang guru di Tomoe karena sang guru mengucapkan kata-kata yang menyinggung ketidaknormalan seorang muridnya di depan murid-murid yang lain. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu, melainkan orang yang sangat peduli dan sangat mencintai murid-muridnya. Itulah salah satu pendidikan non-verbal yang ditanamkan oleh Pak Kobayashi.
                Selanjutnya David Mills dan Stanley Scher mendapat ide mengajukan konsep pendidikan terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan afeksi atau perasaan murid dalam belajar. Konsep ini lahir karena fenomena yang mereka lihat dimana murid dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam khusunya hanya secara kognitif. Padahal, bagaimanapun juga, praktek sangatlah penting dan melalui praktek tersebutlah elemen-elemen afektif terlibat. Elemen afektif ini meliputi adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan imajinasi dalam usaha-usaha kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut,
                Penggunaan pendekatan terpadu ini dilakukan dalam pembelajaran IPA, pendidikan bisnis dan bahkan otomotif. Elemen kognitif menunjuk pada berpikir, kemampuan verbal, logika, analisa, rasio dan cara-cara intelektual, sedangkan elemen afektif menunjuk pada perasaan, cara-cara memahami yang melibatkan gambaran visual spasial, fantasi, persepsi keseluruhan, metaphor, intuisi, dan lain-lain.
                Tujuan umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam pendekatan terpadu adalah untuk lebih membebaskan murid dari ketergantungan kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan responsibilitas murid untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan memberikan pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka, dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan untuk hal-hal yang bisa ditangani oleh murid sendiri.
                Lebih jauh, David Mills dan Stanley Scher memaparkan tujuan pendidikan terpadu ini secara detail sebagai berikut :
a.  Membantu murid untuk mengalami proses ilmu pengetahuan, termasuk penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual maupun afektif.
b.  Membantu murid dalam mencapai kemampuan untuk menggali dan mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang ilmiah.
c.  Meningkatkan pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep dan ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
d.  Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi dari aplikasi yang mungkin dari ilmu pengetahuan.
e.  Memungkinkan murid untuk menerapkan baik proses maupun pengetahuan ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan kesadaran murid terhadap dunia mereka dan setiap pilihan yang mereka ambil.
                Penerapan metode gabungan antara kognitif dan afektif ini menunjukkan hasil yang lebih efektif dibanding pengajaran yang hanya menekankan aspek kognitif. Para siswa merasa lebih cepat menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role playing  dan game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid berperan sebagai astronot.
                Begitulah yang dirasakan oleh murid-murid di sekolah Tomoe. Mereka belajar sambil bermain, belajar sambil melakukan (learning by doing), belajar dari pengalaman mereka. Mereka belajar bertani langsung pada “petani” yang hari itu menjadi guru mereka dan langsung mempraktekkannya di lapangan. Berenang bersama, belajar penyerbukan dengan melihat kupu-kupu. Dan banyak hal yang mereka sendiri baru menyadarinya setelah mereka dewasa. Belajar dari pengalaman (experiential learning) yang dengan itu mereka menjadi lebih ingat akan pelajarannya, bukan hanya di kertas ataupun buku. Sungguh, Tomoe sampai saat ini pun masih sangatlah menginspirasi.
                Sekarang ini di Indonesia sendiri sudah mulai berkembang dan semakin banyak sekolah-sekolah alternatif yang bermunculan. Sekolah alam, homeschooling, agrohomeschooing, dan sebagainya. Sekolah-sekolah yang tidak terbatas pada bangunan segi empat dan tidak kaku. Back to nature, dan semoga dengan adanya sekolah-sekolah alternatif yang semakin banyak, dapat meningkatkan pendidikan bangsa. Dan dapat mengembalikan pendidikan ke tujuan asalnya. Memanusiakan manusia, dan menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai denga Undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.


Daftar Pustaka

David A. Kolb, Richard E. Boyatzis, Charalampos Mainemelis Department of Organizational Behavior Weatherhead School of Management Case Western Reserve University, Experiential Learning Theory: Previous Research and New Directions
Lizna Seftiana, Yusda Mardhiyah, Virgitha Isanda, M. Reza. 2008. AgroHomeschooling sebagai Metode Pembelajaran Alternatif guna Meningkatkan Mutu Pendidikan’. Bogor.
Ratna Syifa’a Rachmahana, Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi No.I Vol.I 2008
Ronald E. Hansen, The Role of Experience in Learning: Giving Meaning and Authenticity to the Learning Process in Schools, Journal of Technology Education Vol. 11 No. 2, Spring 2000
Santrock, John W. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Winkel, W.S (2004). Psikologi Pengajaran. Yogyakarta. Media Abadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar