Ibrahim An-Nakh’i pernah menyampaikan kisah yang didengarnya dari Alqamah, seorang perawi hadits yang wafat tahun 62 H. “Aku pernah memasuki sebuah masjid dan mengucapkan do’a, “Allahumma yassir lii jaliisan shalihan” (Ya ALLAH mudahkanlah bagiku mendapatkan teman yang shalih). Aku lalu duduk begitu saja di salah satu tempat di masjid tersebut. Tak lama kemudian datang seorang tua yang duduk di sampingku. Aku bertanya kepada jamaah yang lain, “Siapa dia?” Mereka memberitahu bahwa orang yang baru datang itu adalah Abu Darda radhiallahu anhu. Aku lalu mengatakan padanya, “Tadi aku berdo’a kepada ALLAH SWT agar memudahkan bagiku mendapat teman duduk yang baik. Lalu ALLAH SWT memudahkanmu untuk menjadi temanku”. “Dari mana Anda?” Alqamah menjawab, “Dari Kufah.” Abu Darda lalu bertanya lagi, “Bukankah di antara kalian atau dari kalian, ada seorang penjaga rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain kecuali dirinya (maksud Abu Darda adalah khudzaifsah ra)?” Alqamah mengiyakannya. “Bukankah ada diantara kalian orang yang dilindungi oleh ALLAH SWT dari syaithan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wassalam (maksud Abu Darda adalah Ammar bin Yasir ra)? Alqamah mengiyakannya lagi.
Saudaraku,
Teman yang shalih. Teman yang kata-katanya memberi manfaat. Teman yang ucapannya membawa hikmah, memberi kesejukan, membuka kesadaran, menguatkan iman, mempertajam pikiran, melembutkan hati. Teman yang shalih.
Do’a dan permohonain mendapatkan teman yang shalih, adalah kebiasaan orang-orang shalih itu sendiri. Imam Turmudzi dan An-Nasai dari Harits bin Qubaisha mengatakan, “Aku pernah datang ke Madinah dan berdo’a, Allahumma yassir lii jaliisan shalihan.” Aku lalu duduk di samping Abu Hurairah radhiallahu anhu. Aku mengatakan, “tadi aku meminta kepada ALLAH agar diberi rizki teman yang shalih.” Lalu Abu Hurairah membacakan kepadaku hadits dari Rasulullah SAW yang diharapkan bisa bermanfaat untukku. Abu Hurairah ra mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Pertama kali yang dihisab seorang hamba dari amal-amalnya adalah shalatnya. Jika shalatnya benar maka ia berhasil dan sukses. Dan jika shalatnya rusak, maka ia merugi. Jika ada yang kurang dilakukan dari kewajibannya, berkata RABB azza wa jalla: “Lihatlah apakah ada ibadah sunnah yang dilakukan hamba-Ku?” Lalu hal itu akan menyempurnakan apa yang kurang dari kewajibannya. Kemudian dihisablah seluruh amalnya dengan modal itu.”
Ini pemisalan yang terjadi di generasi mereka orang-orang shalih. Mendapatkan teman yang shalih ada dalam do;a mereka. Memperoleh orang yang bisa mengingatkan pada akhirat, kepada ALLAH, meningkatkan keimanan, menjadi bagian dari obsesi mereka ketika hadir di suatu tempat. Dan di zaman itu, mereka lebih mudah mendapatkannya.
Mungkinkah kita berdo’a yagn sama, “Allahumma yassir lii jaliian shalihan” sekarang?
Saudaraku,
Kesendirian barangkali lebih baik daripada memiliki teman yang buruk. Alasannya adalah, dalam kesendirian seseorang akan bicara pada dirinya sendiri. Lintasan pikirannya, jika itu keburukan, akan sampai pada jiwanya sendiri, dan dalam batasan itu, syariat masih memaafkannya. Tapi teman yang buruk akan menyampaikan lintasan pikiran buruk itu pada orang yang menemaninya dan akan mengajaknya melakukan keburukan itu dengan sikap-sikapnya.
Maka, Abu Darda ra pernah mengatakan, “Teman yang shalih itu lebih baik daripada kesendirian. Dan kesendirian itu lebih baik daripada mendapat teman yang buruk. Orang yang mengajak kebaikan lebih baik daripada orang yang diam. Tapi orang yang diam lebih baik daripada orang yang mengajak kepada keburukan.” Bahkan Ibnu Hibban mengatakan, “Orang yang berakal tidak akan mau menemani orang yang jahat. Karena pertemanan dengan orang yang jahat itu adlah potongan dari api neraka. Memberi rasa panas, tidak memunculkan ketenangan, dan cenderung melanggar apa yang pernah dijanjikan.”
Saudaraku,
Persoalan teman, bagi orang-orang shalih begitu penting. Kekeliruan dalam berteman, bisa mengakibatkan perkara yang tidak sederhana. Karenanya mereka sangat berhati-hati memilih teman, demi memelihara dirinya. Mereka sangat sensitive meilih komunitas mana tempatnya berinteraksi, untuk menghindari diri dari keadaan yang menjebak pada kkesalahan.
Saudaraku,
Mari sama-sama berdo’a, “Allahumma yassir lii jaliisan shalihan…”
Tak hanya persoalan memilih teman, tapi terlalu banyak berteman dan bergaul pun, bagi orang-orang shalih dianggap memiliki dampak yang kurang baik bagi jiwa. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam bergaul merupakan penyakit parah yang mendatangkan semua kejelekan. Betapa banyak pergaulan dan persahabatan itu menghilangkan nikmat, menabur benih permusuhaln, dan menanamkan rasa sakit di dalam hati yang mampu melenyapkan gunung yang kokoh. Sehingga berlebihan dalam bergaul merupakan kerugian dunia dan akhirat. Hanya saja seorang hamba sepantasnya mengambil dari pergaulan itu sebatas kadar kebutuhan.” (Bada”I’ul Fawa;id/231)
Lebih mendalam lagi, simaklah komentar Ibnul Jauzy rahimahullah ini. “Hampir tidak ada yang menyukai berkumpul dengan manusia kecuali (hati) yang kosong. Karena hati yang tersibukkan dengan al-haq akan lari dari makhluk. Ketika hati kosong dari mengetahui al-haq, diapun tersibukkan dengan makhluk. Sehingga dia pun beramal untuk dank arena mereka, dan dia binasa karena riya’ tanpa mengetahuinya.” (Shaidul Khathir/217)
Saudaraku,
Kita memerlukan waktu-waktu untuk menyendiri, menyepi, mendengsarkan nafas dan berbicara pada jiwa. Sayyid Quthb rahimahullah berpesan, “Jiwa yang diarahkan agar memiliki pengaruh dalam realitas kehidupan, lalu merubahnya pada orientasi yang lain, harus menjalani khalwat (penyendirian) atau uzlah (pengisolasian) untuk beberapa saat, memutus kesibukan dunia dan hiruk pikuk kehidupan, dan dari obsesi orang-orang “kecil” yang disibukkan oleh kehidupan.”
(oleh M. Lili Nur Aulia, rubrik Ruhaniyat majalah Tarbawi)
Cc file AJS
Ya allah aku pengen punya temen🙂
BalasHapus